SIAPA YANG MENJAGA HUKUM DILAUT KITA ?



 “Siapa yang menguasai laut, dialah yang menguasai dunia”
Themistocles
Tanggal 29 September 2014 lalu dapat dikatakan merupakan hari yang cukup bersejarah bagi bangsa Indonesia, karena pada tanggal tersebutlah DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Kelautan yang diajukan DPD menjadi Undang-Undang, tepatnya nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan. Sedikit disayangkan memang, Indonesia ditinjau dari kacamata sejarah merupakan bangsa yang diakui dunia memiliki peradaban maritim yang besar, baru memiliki payung hukum tentang kelautan, setelah 69 tahun setelah merdeka. Padahal dua pertiga dari wilayah Indonesia merupakan laut, yang letak geografisnya sangat strategis dimana Indonesia adalah negara kepulauan terbesat di dunia, juga didalamnya mengandung potensi sumber daya alam yang potensinya dapat mencapai USD 1.2 triliun per tahun. Berlakunya UU Kelautan ini sangatlah penting, karena akan berperan sebagai regulasi yang secara komperhensif mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kelautan Indonesia secara terpadu, mulai dari perencanaan, pemanfaatan, sampai penegakan hukumnya, yang menjadi persyaratan utama yang harus dipenuhi oleh pemerintah dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, yang pada akhirnya akan mengantarkan Indonesia sebagai negara yang memenuhi tujuan pembentukannya, yaitu kesejahteraan bagi rakyatnya.


Illegal Fishing dan Kondisi Penegakan Hukum Laut di Indonesia
Telah disebutkan bahwa penegakan hukum merupakan salah satu prasyarat untuk mengantar Indonesia sebagai poros maritim dunia. Berbicara penegakan hukum, hal ini masih merupakan pekerjaan rumah yang berat bagi pemerintah. Wilayah perairan Indonesia yang mencapai 72.5% memberi tantangan besar bagi TNI AL, Polisi Air, dan instansi terkait untuk memastikan kemanan dan perlindungan terhadap yurisdiksi Indonesia. Praktik Illegal fishing merupakan satu dari sekian pelanggaran yang paling masif dilakukan di wilayah perairan Indonesia. Illegal fishing dilakukan oleh kapal ikan asing yang secara illegal masuk ke dalam wilayah perairan Indonesia, dan melakukan penangkapan ikan tanpa mengantongi izin dari pemerintah. Praktik ini jelas telah sangat merugikan negara setiap tahunnya, bahkan menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mencapai Rp 240 triliun. Tidak hanya itu, praktik illegal fishing juga menyebabkan kerugian lainnya, yakni kerusakan ekosistem laut. Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengungkap data mengejutkan, dimana hanya 5,3% terumbu karang Indonesia yang tergolong sangat baik, ementara 27,18%-nya digolongkan dalam kondisi baik, 37,25% dalam kondisi cukup, dan3 0,45% berada dalam kondisi buruk, dimana kerusakan terumbu karang ini sebagian besar disebabkan oleh praktik illegal fishing yang menggunakan sianida dan alat tangkap terlarang. Ini menimbulkan masalah serius, karena terumbu karang adalah rumah bagi ikan, dan jika kita berlogika secara sederhana saja, keruskan terumbu karang artinya kerusakan terhadap kehidupan ikan itu sendiri. Tentu hal tersebut adalah berita buruk bagi sekitar 2,2 juta nelayan di seluruh Indonesia. Yang dipastikan akan kehilangan mata pencahariannya Dapat dilihat bahwa praktik illegal fishing, yang oleh masyarakat internasional telah diklasifikan sebagai transnational and organized crime, dipastikan akan menciptakan sederetan masalah jika kondisi buruk ini tidak segera diselesaikan.
Pemerintah, sebenarnya bukan tanpa tindakan. Undang-undang 45 tahun 2009 tentang Perikanan memiliki serangkaian payung hukum terkait penegakan hukum terhadap tindakan illegal fishing, salah satunya adalah dimungkinkannya dilakukan penenggelaman kapal yang terbukti melakukan pengangkapan ikan tanpa izin. Sayangnya sudah 5 tahun sejak keberlakuan regulasi ini, belum pernah dimaksimalkan oleh pemerintah dalam rangka penegakan hukum di wilayah perairannya. beberapa kendala yang dihadapi adalah kurangnya koordinasi dari instansi-instansi yang memiliki kewenangannya masing-masing, misalnya TNI AL, Polisi Air, Kapal Pengawas Perikanan (dibawah Kementerian Kelautan dan Perikanan), sampai Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (dibawah Kementerian Perhubungan), yang menggunakan prinsip multi agency multi task. Walaupun diatas kertas setiap instansi memiliki peranan yang berbeda, dalam praktik sering terjadi tumpang tindih kewenangan, sehingga terjadi kebingungan dalam hal melaksanakan penegakan hukum. Hal ini jelas akan menimbulkan ketidakpastian hukum, inefisiensi anggaran dan konflik antar instansi pemerintah, yang hal tersebut pantang terjadi jika ingin mempertahankan laut Indonesia. Sehingga dirasa perlu untuk menciptakan suatu koordinasi antar instansi demi terciptanya efisiensi dan efektivitas dalam pelaksanaan pengamanan dan penegakan hukum. Sebenarnya, melalui Peraturan Presiden nomor 81 tahun 2005, telah dibentuk Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) sebagai upaya menciptakan harmonisasi dalam koordinasi antar instansi dalam pengamanan dan penegakan hukum di laut. Sayangnya kewenangan “koordinasi” yang diberikan terlampau lemah sehingga pada akhirnya tidak memberi pengaruh apapun.

Komentar